Berapa banyak buku tentang film Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia? Tidak banyak! Anggapan ini memang tanpa dasar hitung-hitungan ilmiah. Tapi, cukuplah bisa disimpulkan begitu kalau kita amati selintas maupun seksama di rak-rak toko buku. Bandingkan jumlah buku mengenai film Indonesia dengan buku-buku bertema lain, katakanlah, buku psikologi populer, manajemen, agama, apalagi komik-komik manga dari negeri Jepun sana. Di antara tumpukan tema-tema populer itu, terseliplah barang segelintir buku-buku tentang film Indonesia yang kadang sudah menghuni rak tersebut berbulan-bulan lamanya alias jarang laku.
Dari yang sedikit itu, berapa banyak buku tentang film Indonesia yang ditulis bukan sebagai suatu hasil kajian akademis? Lebih sedikit lagi! Jadi, amat bahagia saya ketika menemukan satu buku kecil di salah satu sudut rak toko buku dengan gambar clapper khas dunia film di sampul depannya. Judulnya pun jelas terbaca: …Oh, Film.
Buku kecil yang “hanya” setebal 158 halaman ini ternyata memberi makna besar bagi saya. Oleh buku ini, saya dihanyutkannya masuk lebih dalam ke dunia film Indonesia. Sebenarnya buku ini berkategori fiksi karena berisi kumpulan cerita pendek (cerpen). Penulisnya, Misbach Yusa Biran, menyebutnya sebagai kumpulan “corat-coret” yang ditulisnya pada sekitar tahun 1957. Namun, susah untuk tidak mengaitkannya dengan dunia film Indonesia. Ada dua alasan. Pertama, karena penulisnya yang tak lain adalah sosok penting dalam perfilman Indonesia. Alasan kedua karena setting seluruh kisah di dalam buku ini berhubungan dengan dunia film.
Saya memang meminjam pendekatan semiotika untuk “membaca” kumpulan corat-coret Misbach ini. Saya membaca buku ini dalam edisi yang diterbitkan tahun 2008, dan saya melihatnya sebagai sebuah teks dalam konteks. Yakni, sebagai kumpulan tanda (texts) yang memiliki situasi penyerta (context) tertentu yang meletakkannya dalam pemaknaan tertentu. Selain itu, sebagai sebuah teks dalam konteks tersebut, saya juga “membacanya” sebagai bagian terhubung dengan teks-teks lain atau biasa disebut intertekstualitas.
Dari cara “membaca” yang demikian itulah saya bisa merasakan makna lebih dalam dari buku …Oh, Film ini dan mendapatkan suatu pembacaan yang membawa saya lebih mengenal dunia film Indonesia. Konteks pertama yang membawa saya kepada kesimpulan pemaknaan demikian adalah latar belakang penulisnya. Misbach Yusa Biran adalah “seseorang” dalam dunia film Indonesia. Selain dikenal sebagai penulis skenario film dan sineas, ia juga seorang wartawan film dan pendiri lembaga arsip film di negeri ini, Sinematek Indonesia. Jadi, jika seorang Misbach menulis cerpen berlatang dunia film Indonesia dan kemudian dibukukan dengan judul …oh, film, maka akan sangat sulit untuk melepaskan konteks tersebut dalam cara memaknai kisah-kisah itu sebagai sekelumit warna dalam perkembangan dunia film Indonesia.
Konteks berikutnya adalah kisah-kisah itu sendiri. Ada 16 cerita yang kesemuanya berlatar kisah di balik dunia film Indonesia. Dari mana bisa disimpulkan begitu? Dari setting lokasi ceritanya, dari tokoh-tokohnya, dan juga dari tema cerita itu sendiri. Ada cerita tentang bakal calon figuran yang selalu gagal bermain dalam film, ada juga figuran yang merasa sudah jadi mega bintang superstar. Di kisah lain, hadir pula pengalaman si bintang itu sendiri, sutradara yang kalah kuasa dengan sang produser, si penulis cerita yang siap terima pesanan cerita apa saja sesuai kemauan produser dan bintang utama, wartawan film yang jatuh hati pada bintang baru, hingga polemik antara film kampungan dengan film intelek. Tentu saja dengan segala problematika di dalamnya.
Satu hal yang menarik di sini adalah, Misbach mengantarkan saya sebagai pembaca untuk masuk lebih dalam menemui gambaran dunia film Indonesia lewat tokoh dan karakter-karakter yang menjadi bagian dari mesin penggerak perfilman Indonesia, justru bukan lewat gambaran atas karya film yang dihasilkan. Baik penggambaran lewat tokoh yang dianggap penting dalam industri film, maupun tokoh-tokoh pinggiran yang menganggap dirinya penting meski dunia di sekitarnya tetap selalu menempatkannya sebagai figuran kehidupan. Dengan kata lain, buku ini bicara tentang perfilman Indonesia secara lebih antropologis, khususnya lewat kisah “aktor-aktor kehidupan” di dalamnya.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya menuliskan hasil pembacaan atas buku …Oh, Film lewat pendekatan semiotika. Dengan begitu, mengutip salah satu pemikir Perancis di bidang semiotika, Roland Barthes, saya juga memakai prinsip “The author is dead.” Katanya, pengarang telah mati. Apa yang ada di benak pengarang saat menyusun karyanya telah menjadi suatu hal yang tidak terlalu penting lagi bagi para pembacanya. Pembaca membangun maknanya masing-masing atas setiap karya yang dihadapinya. Begitu juga yang saya lakukan saat membaca buku ini.
Berhubung saya memiliki akses terhadap cara pandang yang demikian, berikut pula akses informasi atas konteks-konteks yang saya sampaikan di atas, jadilah makna atas buku ini begitu mendalam karena menggiring saya mengenal situasi dunia film Indonesia dari kacamata orang film itu sendiri. Baik di konteks waktu saat tulisan itu dibuat (1957), waktu di saat buku ini pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Jaya (1973), hingga saat buku ini diterbitkan kembali oleh KPG (2008) dan saat saya baca kali ini (2009). Semuanya berkelindan memberi pengaruh pembentukan kesan yang kian dalam bagi saya sebagai pembacanya.
Lewat kisah fiksi yang ditulis dengan sangat cair, penuh komedi di sana-sini, satir di beberapa bagian, terkadang komikal juga, dan mengangkat latar dunia film Indonesia, saya justru merasa lebih dekat dengan gambaran salah satu sisi realitas perfilman nasional: masa lalu, kini, bahkan bisa jadi cermin yang mendatang pula. Terima kasih Bung Misbach. Semoga sehat selalu, dan tetap bisa terus berkarya.
Terakhir, saya tutup tulisan ini dengan mengutip endorsement dari Seno Gumira Ajidarma di sampul belakang buku ini. Seno bilang, “…Oh, Film yang kini terbit kembali bukan sekadar menjadi hiburan berkelas karena ditulis dengan strategi humor yang sebagian besar jitu, tetapi juga merupakan dokumen sosial yang masih akan terus berjasa sebagai sumber pengetahuan di masa-masa mendatang.”
Judul buku : …Oh, Film
Penulis : Misbach Yusa Biran
Ukuran buku : 13 cm x 19 cm
Halaman : ix + 149 hlm
Tahun terbit : 2008
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada 1973)
salam pak zaki.. mampir mampir ke blog saya yah,…. hehehehe
resensi yang menarik pak!!!
salam kenal nihh
sedang blogwalking dan ketemu blog menarik ini.. ditunggu kunjungan baliknya di http://www.ossmed.com