Di tengah-tengah rutinitas agak menjemukan beberapa pekan terakhir ini, yakni berkutat dengan segala rupa informasi dari penelitian lapangan saya di Malaysia dan Indonesia, saya terkesiap tatkala membaca sebuah tulisan kolom di salah satu surat kabar yang saya bawa balik dari Malaysia. Tulisan berjudul “Jangan Malu Guna Bahasa Kebangsaan” tersebut dibuka demikian,
“Semakin ramai ibu bapa generasi muda berbual dengan anak-anak mereka yang masih kecil dengan menggunakan bahasa Inggeris. Pendedahan bahasa asing itu menepati peribahasa Melayu iatu melentur buluh biarlah dari rebungnya”. (Mir Azri Shaharudin 2017: 11)
Kemudian, dilanjutkanlah uraiannya mengenai sudah sepantasnya masyarakat Malaysia lebih menggunakan bahasa mereka sendiri ketimbang bahasa asing. Artikel kolom tersebut dimuat di harian Kosmo edisi “Jumaat, 25 Ogos 2017” (25 Agustus) dan terpampang di kolom Komentar pada halaman sebelas. Sepanjang tulisan satu kolom tersebut, intinya, penulis menyorot kekhawatiran dia melihat lunturnya penggunaan bahasa Melayu dalam keseharian anak muda Malaysia dan lebih tergantikan oleh bahasa-bahasa asing khususnya Inggris. Argumen pokok artikel tersebut adalah menyokong penggunaan bahasa Melayu selalu dan menempatkannya dalam posisi utama demi identitas nasional bangsa. Atau, dalam bahasa si penulis demi “usaha memartabatkan bahasa kebangsaan di negara ini”.
Tulisan saya di sini sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan data penelitian yang sedang saya kerjakan. Namun, saya makin tertarik membaca artikel kolom tersebut karena mengingatkan pada satu praktik yang lazim dalam produksi diskursus bahasa nasional yang terjadi tidak hanya di Malaysia, tetapi juga negeri tetangganya: Indonesia. Tulisan blog ini tidak bertujuan mengulas artikel kolom tersebut dalam konteks baik-buruk atau tepat-tidak tepat, tetapi hanya meminjamnya untuk melihat sebuah fenomena lebih luas dalam diskursus “politik (politisasi?) berbahasa” di dua negara bertetangga ini.
Coba kita awali dengan menengok memori kita masing-masing, sejak masa sekolah dasar hingga perbincangan di tempat kerja dan keluarga atau dalam obrolan-obrolan di media massa. Betapa kerap kita juga sering mendengar beberapa ungkapan – bahkan ajakan langsung – untuk mengagung-agungkan bahasa nasional (Melayu: bahasa kebangsaan) di atas bahasa-bahasa lainnya. Sikap tersebut terartikulasi dalam berbagai wujud, di antaranya, buku-buku pelajaran di sekolah, kolom-kolom dan artikel surat kabar maupun laman daring, pidato Pak Lurah di kampung, sambutan tetua di pertemuan trah keluarga, hingga artikel-artikel (yang diklaim) akademik oleh para dosen. Satu hal yang sama dari berbagai ungkapan dan ajakan ini adalah nuansa alasan di baliknya: aspek mengapa harus mengagungkan bahasa nasional. Yaitu, kekhawatiran akan lunturnya bahasa nasional ini karena digerus oleh hal-hal lain yang berbau “asing”. Selain itu, alasan lainnya juga demi solidnya identitas kebangsaan atawa sebuah konsepsi terhadap corak kolektivitas yang didefinisikan secara tunggal. Inilah yang saya sebut sebagai produksi diskursus bahasa nasional, atau diskursus nasional(isme) secara lebih luas.
Cara demikian tampak jelas dalam artikel kolom berbahasa Melayu tersebut. Selain menyorongkan ajakan dan ungkapan persuasif lainnya, sejumlah contoh dari kehidupan bangsa lain kerap dijadikan dasar penyusunan argumennya pula. Misal, tampak dalam ujaran berikut,
“Rakyat Malaysia perlu mempunyai sikap menghormati penggunaan bahasa kebangsaan sama seperti rakyat Jepun dan Perancis yang memandang tinggi bahasa mereka”. (Shaharudin 2017: 11)
Berikutnya contoh lain juga didedahkan, seperti,
“Pemain-pemain bola sepak yang terkenal seperti Lionel Messi dari Argentina dan bintang Portugal, Cristiano Ronaldo juga lebih suka menggunakan bahasa kebangsaan mereka sendiri tanpa rasa rendah diri ketika diwawancarai media”. (Shaharudin 2017: 11)
Valid tidaknya informasi semacam itu memang masih dipertanyakan. Akan tetapi, penggunaan bentuk retoris demikian memang tampak meyakinkan, yaitu dengan model analogi dari luar diri maupun sentuhan sisi pengalaman keseharian audiensnya. Bagi saya, justru di sinilah letak bahayanya.
Politik (dalam) Bahasa
Dalam model produksi diskursus demikian tampak jelas bahwa bahasa – entah itu Melayu atau Indonesia – diletakkan pada satu aras yang seolah tidak bisa ditawar maknanya: bahasa nasional. Padahal, problematisasi “nasional” dalam frase tersebut tidak pernah tuntas, dan sudah semestinya memang tidak perlu tuntas melainkan menjadi proses pemaknaan yang dinamis. Dinamis dari sisi kemungkinan perbenturan beragam nilai, kepentingan, aspek historis, memori, maupun kemungkinan ragam makna. Model argumen begini – ‘utamakan bahasa nasional, singkirkan yang asing, maka identitas nasional kita akan mapan dan tidak mudah goyah’ – adalah sebuh premis yang lemah. Kalaupun upaya ini dilakukan begitu saja, ironisnya, tidak kemudian serta merta bahasa tersebut akan tumbuh lebih kaya dan penuturnya kemudian disegani. Karena, model argumen tersebut tidak pernah terbukti mampu menunjukkan keterhubungan antara aras diskursus yang tengah diproduksinya dengan aras praktik sebagai wujud materialitas (dan juga normativitasnya).
Dari sini kemudian kesadaran saya mengantarkan pada pemahaman bahwa bahasa – terutama yang diembel-embeli label nasional – akan selalu dalam pusaran tarik-tegang dengan politik yang melingkupi kehidupan sosial para penuturnya. Politik di sini bisa dalam dua arti sekaligus, yakni politik dalam konteks praksis berpolitik suatu bangsa dan politik dalam makna relasi kuasa: the politics of. Dalam pengertian yang kedua tersebut kita melihat wujud nyata hegemoni, terutama hegemoni pengetahuan dan makna kultural, yang meminjam bahasa sebagai medan peneguhan relasi kuasa kelompok otoritatif (atau, setidaknya yang merasa punya otoritas terhadap laju sebuah bangsa). Bila kita sepaham bahwa model argumen ‘bahasa nasional/kebangsaan’ yang kerap kita dengar atau dapati tadi sudah menjadi hegemoni itu sendiri, kita seharusnya juga bisa memahami bahwa berarti ada berbagai kemungkinan cara lain untuk memahami dan mempraktikkan bahasa dalam posisi keber-identitas-an sebuah bangsa. Cara-cara yang selama ini justru terselubungi di balik hegemoni kuasa otoritatif.
Salah satu cara yang bisa saya tawarkan adalah dengan mengubah perspektif kita dalam memposisikan bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan yang saya maksud adalah dari perspektif hegemoni kuasa otoritatif ke perspektif praktik berbahasa. Tawaran saya ini secara teoretis memang terinspirasi dari pandangan teori-teori praktik (practice theories). Yakni, sebuah pandangan yang meletakkan praktik sebagai pintu telaah utama hingga saat merumuskan pemahaman akan sesuatu ketimbang menengok aspek-aspek lain seperti struktur, sistem, individu, atau interaksi. Kurang lebih, demikian itu penjelasan abstraknya. Secara lebih konkret, pandangan teoretis ini dapat dipahami demikian: jadi, ketimbang kita bertanya, “Apa itu bahasa nasional, dan bagaimana kaitannya dengan bahasa daerah dan bahasa dari luar?” (struktur), atau “Bagaimana seharusnya kita berbahasa?” (sistem), atau “Kaidah apa saja yang harus diindahkan dalam berbahasa nasional yang baik dan benar?” (sistem), justru perhatian kita alihkan kepada pertanyaan lainnya, yaitu “Apa yang sebenarnya orang lakukan dengan bahasa?” (practice: what people actually do with their language).
Dengan begitu, perhatian kita akan lebih tercurah pada aspek-aspek sosial maupun kultural dari wujud nyata suatu bahasa dipergunakan dan ‘dihidupkan’ oleh penuturnya. Hal ini dilakukan tanpa membingkainya dalam suatu kerangka pengetahuan yang hegemonik: benar-salah, tepat-keliru, nasional, asing, dan sebagainya. Manfaatnya saya yakin akan banyak. Pertama, hegemoni pengetahuan yang selama ini membelenggu bisa dipertanyakan ulang. Kedua, ada nuansa demokratis dalam proses pemahaman, sehingga baik penutur maupun bahasanya dapat dipelajari, dipahami, dicatat, dikoreksi bersama dan diperkaya lewat praktik-praktik sosial kultural yang menyeluruh. Ketiga, produksi diskursus bahasa dan diskursus bahasa nasional atau nasionalisme itu sendiri dapat dilakukan lewat proses dan pemahaman yang tidak tunggal makna, tidak statis dan jauh dari jeratan essensialisme maupun chauvinisme.
Apakah dengan melakukan model pandangan alternatif begini dengan sendirinya kita telah membebaskan bahasa dari politik? Sebenarnya, tidak! Dan, selamanya kita akan susah membahas bahasa yang terlepas dari politik. Toh, sodoran alternatif dengan memahami bahasa dari kacamata teori praktik ini pun adalah sebuah tawaran politik pengetahuan itu sendiri, the politics of knowledge on language. Namun, setidaknya pilihan alternatif ini memberi kemungkinan untuk memahami bahasa kita – entah dilabeli bahasa nasional atau tidak – dalam situasi yang lebih dinamis, membebaskan dan, semoga, turut memperkaya khazanah kebahasaan itu sendiri.