[published on 13 April 2017 in Medium.com/ingat-65]
Saya gemar membaca karya sastra. Saya melahapnya — karya-karya yang hadir dalam bentuk puisi dan prosa, baik dalam format cerita lepas dan kisah bersambung di media massa maupun buku — sejak usia belia.
Perjalanan hidup mengantarkan saya ke jenis profesi yang saya bangun berdasarkan hobi sejak kecil. Beruntung, membaca sastra tidak pernah secara langsung menjadi bagian dari profesi saya. Saya katakan beruntung karena dengan begitu saya tetap bisa melakoninya tanpa beban, manasuka, tidak ada target. Seperti lazimnya menjalani kegemaran, kita bisa melakukannya dengan bebas, mandiri dan tanpa harus mempertanggungjawabkan hasil tindakan kita ke pihak-pihak lain (seperti dalam pekerjaan, misalnya).
Nikmatnya membaca karya sastra menambah pengetahuan saya. Saya jadi tahu apa yang terjadi dalam ranah sastra Indonesia sejak akhir 1950-an dan memuncak di pertengahan 1960-an, bahkan ketegangan yang berlanjut hingga di dekade-dekade selanjutnya. Kegemaran saya mengantarkan pada pengetahuan sastra, estetika sastra, hingga sejarah dan politik sastra Indonesia. …
— (continue reading the full article here) —