…Buku Jurnal Olimpiade
Saya pun melirik peluang ke sisi kiri rumah. Di situlah teman sebaya saya tinggal di rumah gedong di sisi kiri kontrakan, dan keluarganya kebetulan memiliki pesawat televisi. Istilah rumah gedong waktu itu merujuk pada rumah mandiri, bukan kontrakan, yang berukuran relatif luas, biasanya dengan facade membujur lebar bukan memanjang ke belakang. Lalu, rumah semacam ini biasanya memiliki halaman depan bahkan juga terkadang punya halaman di bagian belakang rumah juga, serta ada lorong atau lengkong di sisi kanan dan kiri rumahnya. Jadi, dinding rumahnya tidak menempel dengan dinding rumah-rumah tetangganya. Dengan kata lain, untuk isi kepala anak usia SD seperti saya, rumah model begini adalah rumah yang selazimnya memiliki pesawat televisi.
Teman saya ini perempuan, dan memang biasanya dia lebih sering bermain dengan adik perempuan saya yang berjarak umur hanya dua tahun dengan saya. Biasanya saya hanya betah main sebentar dengan mereka karena jenis permainan yang mereka mainkan – seperti konstruksi gender yang kerap terjadi di Indonesia – membuat anak-anak lelaki merasa jengah bermain lama-lama dengan anak-anak perempuan. Tapi, demi melihat gempita olimpiade dalam imajinasi yang lebih terbayangkan, saya pun rela lebih sering berkunjung ke rumahnya.
Mula-mula saya ajak adik saya, lebih tepatnya sedikit saya paksa, untuk ikut main ke rumah tetangga ini. Kami main-main ala umumnya anak-anak bermain. Tapi, saya selalu mengindikasikan agar bermainnya di dalam rumah saja, lebih spesifik di ruang yang ada televisinya. Ketika ada kesempatan, saya juga meminta dia menyalakan televisinya. “Biar lebih seru mainnya,” rajuk saya. Alasan yang tentu saja saya buat-buat. Kecil-kecil sudah lihai siasat politik juga rupanya, hehee.
Pesawat televisi tersebut, tentu saja hitam putih gambarnya, diletakkan di sebuah kotak kayu berlapis warna coklat tua dengan empat kaki miring menghadap ke arah luar yang simetris di setiap sisinya. Terdapat tirai kayu berbilah dua di sisi depan kotak ini yang menutupi layar pesawat televisinya. Tatkala akan menyalakan televisi, tirai ini mesti dibuka lebih dulu. Dengan kedua tangan, teman saya menggeser perlahan dari tengah ke sisi-sisi tepi. Srek….srekk…sreekk… Perlahan saat membuka tirai dan sedikit demi sedikit tabung kaca pesawat televisi itu mulai tampak. Serupa pertunjukan sulap yang hendak dimulai. Ceklek…. Diputarnya salah satu knop di sisi atas dan sontak muncullah gambar gerak dari tabung kaca yang semula polos berwarna perak kebiruan ini. Sihir pun bermula bagi saya kala itu.
Sejak hari itu, saya lebih sering bermain kesana. Teman saya sudah lebih sering tidak saya hiraukan setiap kali dia mengajak bermain sesuatu. Selalu adik perempuan saya sodorkan dan saya biarkan mereka sibuk sendiri. Saya tenggelam dalam sihir imaji olimpiade di layar kaca ini.
Tayangan program olimpiade di TVRI – satu-satunya kanal siaran saat itu – umumnya berupa jurnal laporan harian. Sesekali tayangan langsung, tetapi jarang hingga pertandingan usai, selalu dipotong acara lain. Dalam sehari seingat saya ada dua kali jam tayang, sore dan malam hari. Kemudian, terkadang dalam Dunia Dalam Berita pukul 21:00 terdapat segmen berita olahraga yang kerap mengabarkan perkembangan hasil-hasil pertandingan.
Tiba-tiba juga saya memiliki rutinitas baru. Setiap kali saya bertandang ke rumah tetangga ini, saya selalu membawa sebuah buku. Seingat saya waktu itu guru olahraga menyebut-nyebut juga agar setiap siswa memperhatikan beragam olahraga yang dipertandingkan. Entah saya yang tidak paham dengan perintah guru tersebut, atau saya yang terlalu naif mengartikannya, atau saya memang sedang terkena “sihir olimpiade”, saya dedikasikan sebuah buku khusus untuk mencatat detail kejadian dari setiap tayangan olimpiade yang saya tonton.
(Belakangan setelah masuk kelas selepas olimpiade Seoul 1988 berakhir, guru olahraga saya hanya berujar pendek di kelas, “Gimana olimpiadenya, bagus ‘kan?” tanpa menanyakan hal detail apapun. Ternyata tidak ada PR atau tugas khusus apapun mengenai sarannya untuk menyaksikan olimpiade di televisi. Aseem ik. Tapi, saya tidak kecewa sedikit pun meski telah membuat catatan detail dalam sebuah buku khusus).
Buku tulis khusus ini tidak pernah tertinggal setiap kali saya menumpang nonton di rumah teman samping rumah. Ini inisiatif saya sendiri memang. Bisa jadi karena dorongan bawah sadar untuk membuat sihir televisi di depan saya ini tidak pudar begitu saja selepas selesai menonton. Atau, mungkin sekadar antusiasme saya dengan imaji-imaji baru dari cabang-cabang olahraga yang biasanya hanya didengar di sekolah atau buku pelajaran tanpa rupa yang jelas. Saya menjadi tahu betul bedanya renang dengan polo air dan loncat indah. Saya terbayangkan ajaibnya lompat tinggi dan senam gelang-gelang, aduhainya senam lantai dan tenis meja, hingga luar biasanya marathon dan angkat besi.
Saya membuat tabel di dalam buku ini. Terdapat kolom-kolom yang saya isi dengan detail informasi apapun dari setiap cabang olahraga yang saya tonton. Saya susun catatan ini secara kronologis sesuai urutan waktu saya menonton. Saya mulai dengan kolom “Hari, Tanggal”, “Cabang OR” (olahraga maksudnya), lalu disusul “Keterangan”. Isi setiap kolom berupa informasi detail tanpa pola tertentu, sesuai hal yang menarik perhatian saya. Terkadang, kolom ini berisi nama pemenang dan peraih medali. Di lain waktu saya menuliskan catatan rekor, di sini saya pertama kali mengenal istilah olympic record dan world record meski belum paham benar apa maksudnya. Di bagian belakang saya juga membuat tabel khusus berisi daftar perolehan medali setiap negara yang saya perbarui dengan metode turus lidi setiap harinya.
Saya lakukan semua ini – menonton TV, mencatat di buku, mengikuti berita di koran dan radio – dengan penuh antusiasme tinggi. Tanpa benar-benar tahu untuk apa nantinya. Sayang, buku yang menjadi semacam jurnal harian olimpiade ini sudah tidak berhasil saya temukan di rumah. Mungkin karena kami kerap berpindah rumah dari kota ke kota. Mungkin juga karena waktu itu belum ada IVAA atau Warung Arsip-nya Muhidin M Dahlan, sehingga kesadaran pengarsipan saya masih amat rendah. Heheee..
Satu hal yang pasti, pengalaman berkenalan dengan Olimpiade Seoul 1988 ini rupanya bagian dari proses “menanam” sesuatu yang berharga untuk hidup saya kelak di kemudian hari. Yaitu, menanam pemahaman akan banyak hal. Dari soal imajinasi visual, pengetahuan akan olahraga, semangat keolahragaan (belakangan saya mengenal istilah sportivitas), siasat dan strategi sosial, hingga terpaan beragam media dan pengalaman termediasi.
…(berlanjut di bagian ke-4)