Apa lagi yang bisa dikatakan dari Ada Apa dengan Cinta (AADC) sekuel kedua ini? Entah sisi apa pula yang bisa dituliskan seputar film populer penanda zaman ini? Sebuah film cerita yang sejak akhir April 2016 ini menyedot kembali perhatian khalayak luas, terutama mereka yang sudah menantikan selama 14 tahun terakhir sejak film pertamanya, AADC?, menggemparkan sinema Indonesia pada Februari 2002 silam.
Jelas, tulisan ini bukanlah suatu ulasan atau kritik film. Setidaknya ada dua alasan mengapa begitu. Pertama, saya justru tengah tertarik pada aspek di luar film tersebut. Kedua, meskipun telah ditayangkan perdana untuk undangan terbatas di Yogyakarta pada 24 April dan Kuala Lumpur pada 26 April, lalu dirilis untuk umum secara serentak di tiga negara – Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam – sejak 28 April 2016, saya sendiri belum menonton film AADC 2. Tentu, masih lama tampaknya sampai film ini bisa sampai Swedia tempat saya menetap sekarang, entah lewat jalan darat, laut, udara atau jalur “mistis” lainnya 😉
Karena itu, saya merasa belum layak untuk ikut-ikutan mengulas filmnya, baik dari segi kritik sinematik, analisis kultural, maupun model ulasan lainnya. Salah-salah nanti saya malah terjebak upaya kajian film ndakik-ndakik yang belum tentu jelas pula arahnya.
Meski begitu, beberapa hari terakhir saya terpapar beberapa peristiwa lewat sejumlah medium komunikasi (baca: mediated experiences) yang menarik perhatian saya. Semuanya terkait peristiwa penayangan AADC 2. Sejumlah pengalaman termediasi ini berbentuk terusan pesan melalui media digital yang semuanya muncul lewat jejaring sosial saya. Ada yang tiba-tiba nongol di linimasa (timeline) Facebook, Twitter, dan ada juga yang dikirimkan dalam bentuk tautan ke pesan surel saya dan WhatsApp (WA).
Tidak ada satu pun dari semua pesan terusan itu yang saya menyengaja mencarinya. Misal, cari wangsit ke Simbah Google atau sengaja berburu ulasan filmnya di berbagai kanal. Saya pas kebetulan saja melihatnya di linimasa saya atau pas ada kawan yang mengirimkan pesan-pesan tersebut ke surel dan WA. Setelahnya pun saya tidak menyengaja mencari info lebih jauh tentang siapa sebenarnya penyusun awal informasinya, mencari bahan informasi lanjutan, atau melakukan serangkaian riset penelusuran lebih jauh.
Saya sengaja memposisikan diri begitu: pasif pada mulanya, lalu menengok beberapa tautan seputar pengalaman ber-AADC 2 yang muncul atau dikirimkan ke saya, kemudian memantau linimasa dan kotak surat saya selama beberapa hari setelahnya. Temuan pertama, ternyata pesan-pesan dalam bentuk komentar atau tautan tersebut beredar terus. Artinya, pesan-pesan yang saya terima tersebut ternyata berlanjut tersirkulasi – dalam bentuk yang sama maupun termodifikasi tapi substansinya tetap – lewat jejaring sosial yang makin luas. Selain itu, alur dan pola sirkulasinya juga menjangkau lintas platform dan multi kelompok sosial.
Empat jenis “teks”
Baiklah, agar lebih konkret membayangkannya, saya sebut beberapa contoh jenis “teks kultural” di antara terusan pesan tersebut. Jenis pertama adalah ulasan jurnalistik, misalnya, yang disusun oleh Mas Nug (Wisnu Nugroho) dari harian Kompas dan Kompas.com dalam artikelnya berjudul “Menyelesaikan Masa Lalu ala Cinta dan Rangga di AADC2”.
Berikutnya, ada jenis teks yang semacam ini: sebuah kicauan di Twitter. Saya menerima tautannya di pesan surel saya dari seorang kawan, terus kami jadi gojekan sersan (serius tapi santai, busyet ‘dah jargonnya jadul sekali).
Di sini saya mulai tertarik melihat bagaimana keberagaman cara merespons atas satu euforia fenomena yang sama: AADC 2. Jenis laporan jurnalistik, terutama yang berbentuk feature (berita kisah nan ringan) atau kolom (ulasan pendapat) semacam artikel Mas Nug tadi adalah bentuk yang paling lazim kita temui sejak media massa dan dunia sinema berkawan. Hanya sekarang cara kita menemukan dan membacanya yang lebih beragam, tidak hanya berbasis media tercetak (print media). Tapi, sifatnya masih satu nada: searah dan tunggal (atawa linear dan statis).
Namun, menyimak jenis teks yang kedua: bermula dari posting foto cuplikan media massa yang memuat sosok Juki (Marzuki Mohamad) a.k.a Kill the DJ, pelaku hip-hop Jawa dan seniman visual Jogja yang turut andil dalam AADC 2, kemudian mendapat respons yang fokusnya adalah justru seputar isu politik lokal. Yakni, kritik sang pemberi komentar terhadap perilaku Juki yang – di dalam foto itu – mengenakan kaos kampanye aktivisme sosial “Jogja Ora Didol”. Kritik tersebut bersinggungan dengan fakta bahwa ada yang berpendapat Juki bersikap tidak jelas dengan membintangi film yang didukung oleh brand air minum kemasan AQUA. Yang, tentu saja, bagi pemberi komentar dan siapapun yang terlibat diskusi obrolan ini, perilaku Juki ini dinilai membingungkan dan tidak konsisten. AQUA diketahui memiliki hak pengambilan sumber air di sejumlah mata air lokal, termasuk di sekitar Jogja, dan termasuk korporasi yang mendapat kritik tajam perihal perilakunya dalam privatisasi sumber daya alam tersebut.
Weleh..weleh..dari kisah romansa Cinta dan Rangga di AADC 2 tiba-tiba bisa jadi serius nyrempet urusan komersialisasi kota, kritik sumber daya air, sampai sinisme terhadap perilaku seorang seniman-aktivis tertentu. Menarik. Sifat teksnya pun cenderung berbeda dari yang pertama, yakni dinamis dan lentur (atawa interaktif dan fleksibel).
Jenis teks ketiga, kebetulan masih ada sangkut pautnya dengan sosok Juki tetapi ditulis dalam konteks yang berbeda, adalah artikel Puthut EA yang berjudul “Benarkah Saya Menolak Undangan Red Carpet Gala Premier AADC?” Penulis cerpen dan novel yang kini juga menjadi juru kemudi sebuah situsweb satire, Mojok.co, ini menuturkan tanggapannya secara tertulis atas kicauan Juki di Twitter sehari sebelumnya seputar undangan tayangan perdana AADC 2.
Gejala baru, cara pandang baru
Hal yang menarik bagi saya dari ketiga jenis teks di atas adalah bukan pada aspek isi pesannya, tetapi pada bagaimana pesan tersebut diartikulasikan atau the poetics of these texts. Bagi saya, wajar-wajar saja siapapun di manapun bisa memiliki pendapat apapun atas satu hal yang yang sama sebagai pemicu awalnya, dalam hal ini euforia AADC 2. Namun, saya tertarik melihat gejala yang kian menonjol yakni bagaimana pesan-pesan tersebut yang mula-mula bernuansa interpersonal (antar-individu dalam kelompok sosial terbatas) kini menjadi pesan yang tidak lagi bersifat sekadar bagi massa anonim (ter-broadcast), tetapi juga tersirkulasi secara sosial, terbuka, simultan, fleksibel (dapat diteruskan, dihilangkan, dimodifikasi), dan interaktif melalui media digital.
Ungkapan sederhananya, ekspresi demikian dahulu terucap sebatas dalam obrolan warung kopi, cakrukan di poskamling atau sekretariat organisasi. Akan tetapi, ini semua sekarang hadir dalam nuansa konten yang secara substantif sama, tetapi tersaji dalam format yang memungkinkan untuk menjadi pesan bagi khalayak ramai dalam jejaring sosial yang luas. Inilah yang disebut sebagai ekologi media baru, dalam hal ini ekologi media digital.
Bagi saya, untuk menjelaskan fenomena semacam ini kita tidak cukup hanya memahami isi pesan (isi media) yang tersaji dalam sejumlah platform dan tersirkulasi dalam berbagai jejaring media tersebut. Dalam pandangan ekologi media digital – bahkan, secara mendasar dalam ekologi media itu sendiri – memahami berbagai elemen serta faktor sosial dan kultural yang melingkupinya harus pula diperhatikan sesungguh kita berusaha memahami isi pesan dan teknologi media yang digunakan.
Dengan kata lain, siapa yang menjadi bagian dari produsen teks tersebut baik secara individual maupun kolektif (organisasi) adalah hal yang tidak kalah penting untuk dipahami konteksnya. Lalu, memahami bagaimana jejaring sosial – dalam kehidupan sosialnya bukan sebatas jejaring media sosialnya – antara berbagai pihak yang terlibat dalam sirkulasi pesan tadi juga sama pentingnya. Lapis berikutnya adalah memahami konteks politik, historis, ekonomi, ekonomi-politik, kultural dan hal-hal relevan lainnya dari temali antara pelaku, media, isi pesan (content), dan pengguna (user). Ini menjadi tantangan berikutnya untuk memahami dunia keseharian kita sekarang dalam situasi ekologi media demikian.
Kalau boleh secara gegabah ala sejarawan amatir membuat pembabakan periodisasi, jika momen AADC? berjumpa para penontonnya pada 2002 saya sebut sebagai fase awal maka AADC 2 di tahun 2016 adalah periodisasi sinkronik berikutnya. Di fase ini, ternyata, cara publik merespons peristiwa sehari-hari ini menunjukkan pola yang berbeda. Bukan dari sisi isi responsnya, tetapi bagaimana respons itu diutarakan, disirkulasikan, dan direspons balik oleh berbagai pihak (penutur awalnya serta siapapun yang memiliki akses terhadap teks tersebut). Lalu, pada aspek diakronik, peletakan angka “2” setelah judul film ini izinkanlah secara ngawurisme saya analogikan dengan model “2.0” (two-point-o) dalam nalar inovasi teknologi yang kerap merujuk pada makna “bentuk dan fase yang lebih mutakhir”. Dalam hal ini, ada cara baru dalam menunjukkan respons publik yang dahulu pada 2002 belum muncul dan itu bukan karena ketiadaan teknologinya semata. Melainkan, barangkali memang ada tatanan hidup sehari-hari yang baru dan perlu kita pahami bersama dengan “kacamata baca” yang baru pula demi kejelasan dan keutuhan pemaknaan kita atas hidup kita kini.
Sampai sini, tahapannya sudah melampaui dari level the poetics menuju fase berikutnya. Yakni, memahami aras the politics atawa aspek-aspek kewacanaan (diskursif) yang melingkupi seluruh praktik-praktik bermedia tersebut.
Jurus pamungkas: kreatif karena mungkin
Sebelum menutup celoteh ini, saya teringat masih berutang menuturkan jenis teks keempat. Ini jenis yang paling menghentak saya sekaligus membuat saya ceria luar biasa dengan cara yang tak terjelaskan ujaran apapun. Yaitu, jenis teks yang sarat unsur selo (maaf beribu-ribu maaf, saya sudah bolak-balik segala kamus dan primbon tapi belum menemukan padanan kata yang sesuai untuk ekspresi khas, vernacular expression, dari bahasa tutur Jawa sehari-hari ini).
Barangkali gambar di samping sangat bisa menjelaskan makna selo itu secara universal. Selain meme ini, yang bikin saya harus meminta maaf lagi karena tidak bisa mencantumkan kredit pembuatnya karena sudah tidak terlacak lagi ini bermula dari mana dan siapa, ada juga model ke-selo-an dalam bentuk lain.
Sebelumnya, silakan mencari waktu dan tempat khusus, syukur-syukur tidak membacanya di tempat kerja karena tampaknya akan berpengaruh terhadap persepsi teman kerja Anda setelah Anda tertawa-tawa sendiri. Kalau sudah siap lahir-batin, silakan mampir ke sini: Ada Apa dengan Mamet?
Ini bentuk keusilan yang super. Kreatif, jahil, dibilang enggak penting ya nyatanya penting dan sayang untuk diabaikan, serta mau dibilang banal nyatanya secara poetics dan politics tampaknya banyak sisi tidak tertulis yang justru meletakkannya sebagai teks yang penting dalam rimbun raya cara kita memaknai hidup di gerumbul ekologi media digital masa kini. Untuk itu, saya sungguh-sungguh berterima kasih padanya. Ini kian membuktikan bahwa ekologi media digital menjadi penting bukan karena diskusi soal teknologi dan tarik-ulur tegangan sosio-politik-kulturalnya belaka, tetapi karena memungkinkan siapapun secara etis dan logis untuk menikmati obrolan jagongan leyeh-leyeh terbatas macam begitu menjadi perbincangan terbuka untuk semua.
Salut.
One thought on “Lantaran “AADC 2”: Melongok Geliat Ekologi Media Masa Kini”