”Why Sweden?” – Apa yang Kamu Ketahui tentang Swedia?

for blog
“Selamat datang di Swedia!”, etalase di depan Malmo Castle and Museum

Memasuki malam pertama Maret 2016, saya memulai babak baru dalam hidup: tinggal di negeri nun jauh di utara. Ya, di Swedia.

Setelah perjalanan lebih dari separuh bumi dan selepas tidak kurang dari 30 jam total rute dari Jogja, Jakarta, Dubai, Stockholm, akhirnya tiba juga saya di Lund. Di kota mungil yang termasuk wilayah distrik Skåne di sisi selatan Swedia inilah saya akan menjalani hari-hari saya sebagai Doktorand atawa PhD Researcher di Lund University selama setidaknya empat tahun ke depan. (Edisi cerita-cerita perjalanan dan kisah kehidupan kampus dan lainnya nanti saja di posting-posting selanjutnya ya).

Hampir sebulan tinggal di sini, dan masih terus berusaha beradaptasi dengan berbagai hal, saya kerap mendapatkan pertanyaan semacam ini: “Why Sweden?” “Mengapa memilih Swedia?” “Mengapa meninggalkan negeri indahmu penuh sinar matahari dan datang ke negeri ini?” Begitulah beberapa pertanyaan yang sering saya dapati terutama saat obrol-obrol santai di sesi fika atau rehat kopi khas Swedia (edisi cerita tentang kultur fika ini juga nanti saja ya.. Hehee).

Terkadang saya lebih kerap merespons sejumlah pertanyaan retoris itu dengan jawaban retoris pula, sesekali dibuat agak diplomatis sedikit juga. Ya…ya… beberapa komentar saya tentang kualitas program PhD yang saya tuju, menariknya skema studi doktoral di Skandinavia, kampus Lund University, jaminan sosial dan kondisi hidup di Swedia dan semacamnya (yang semuanya bisa dikutip langsung dari Wikipedia dan berbagai sumber daring lainnya) sering saya jadikan lontaran jawaban ala obrol-obrol akrab begini. Namun, selepas sesi fika itu, saat saya sudah di ruangan kerja lagi sendiri atau sesampainya di rumah, pertanyaan-pertanyaan tadi muncul lagi di kepala. Kali ini, saya menjadi benar-benar berpikir sungguh, apakah sejatinya saya punya jawaban pasti atas pertanyaan macam begitu? Ternyata, tidak juga.

Kuis Iseng

Kalau dipikir-pikir, sebelum berangkat ke Swedia, saya terbilang buta dengan negeri ini. Sampai sekarang pun saya selalu merasakan dan menemukan hal baru dalam keseharian saya di sini. Tentang kota-kotanya, seputar sistem administrasi pemerintahan dan kependudukannya, atau tentang sistem sosial dan masyarakatnya. Tentang warna dan nuansa kotanya di penghujung akhir musim dingin dan awal musim semi, atau tentang heningnya Lund dan jenis bebunyian di sekitar jalan-jalannya, tentang aroma kotanya, dan sebagainya. Meskipun berbagai informasi sudah dibaca dari banyak sumber daring dan referensi lainnya yang beragam, saya masih menemukan dan merasakan hal-hal yang baru.

Sontak saya terpikir, apakah kerabat dan sahabat saya di Indonesia juga sama-sama buta tentang negeri ini. Atau, jangan-jangan cuma saya saja yang mungkin memang ndeso dan kurang gaul dengan segala hal berbau e-ro-pah dan negeri Skandinavia ini. Iseng-iseng saya bikin kuis terbuka lewat grup jejaring sosial dan pertemanan saya di Indonesia. Salah satunya lewat pesan ringkas di grup aplikasi WA (WhatsApp) tempat saya tergabung menjadi salah satu anggotanya. Saya ketik saja, “iseng-iseng berhadiah.. apa yang kamu tahu tentang Swedia?”

Syarat tambahan yang saya ajukan adalah agar respons pertanyaan itu disampaikan secara spontan, enggak perlu minta tolong mbah Google dulu, dan disampaikan dalam kata-kata ringkas sahaja. Menarik juga mencermati beberapa respons balik yang masuk. Tapi, dari semua jawaban dan komentar ada satu pola yang identik: I-K-E-A.

Hampir absolut jawaban teman-teman di jejaring sosial tadi selalu ada unsur menyebut IKEA. Yup, brand jaringan waralaba produsen dan supermarket furniture khas Swedia ini selalu nongol di jawaban mereka. Hmm, menarik. Saya tidak berusaha menggali lebih dalam dengan bertanya alasan mereka. Saya hanya sedang tertarik mencari tahu komentar spontan dan pola umum persepsi mereka tentang negeri yang punya warna identitas kuning-biru ini.

Kalau misal pertanyaan itu saya ajukan sendiri, ternyata urutan jawaban saya begini: IKEA, Zlatan Ibrahimović, André Möller, dan salju.

Di urutan pertama, sama seperti respons teman-teman saya tadi, IKEA masih memuncaki peringkat. Kemudian, pesepakbola Swedia asal kota Malmö yang punya darah keturunan Bosnia-Kroasia ada di tempat kedua. Wajar, sepakbola adalah setengah dari hidup saya (dulu, duluuu sekali sebelum saya sering bernyanyi “perutku dulu tak begini…” du..du..duuu..). Zlatan adalah jawaban yang lazim juga dari teman-teman, terutama cowok-cowok penggemar sepakbola. Kebetulan saya dan Zlatan sama-sama berbagi tahun lahir yang sama (njuk ngapa..??! hehehee).

Lalu, ada sosok kolumnis harian Kompas, André Möller, di peringkat ketiga jawaban saya. Ia berasal dari Swedia dan pernah studi lanjut di Jogja, kemudian tulisan-tulisan kolomnya tentang bahasa sering muncul di Kompas. Ini juga wajar karena dulu saya juga pernah bekerja di harian ini sebagai jurnalis dan bahasa serta sastra adalah salah satu minat saya. Belakangan, setelah André menerbitkan kamus Swedia-Indonesia-Swedia saya juga makin “terhubung” karena saat sesampainya di Lund saya pun akhirnya mendapatkan buku ini langsung dari penyusunnya (terima kasih, André).

Jawaban keempat, salju, tentu saja enggak perlu penjelasan lebih jauh. Ini khas impian orang tropis. Meskipun sudah tahu bahwa “salju hanya indah di film Hollywood” dan enak dinikmati di dua hari pertama saja karena selebihnya yang ada cuma dingin-dingin-beku-dan-cemberut, tetapi tetap saja “mimpi atas salju” adalah hal lumrah bagi penghuni wilayah tropis ketika memaknai negeri-negeri Eropa. Terlebih untuk negeri-negeri di utara seperti Swedia.

Ada Hubungan, Membentuk Ingatan

Persepsi orang tentang subjek tertentu, dalam hal ini tentang negeri Swedia, adalah topik yang bisa tak habis-habisnya dikupas. Bahkan, barangkali bisa jadi satu disertasi sendiri. Saya juga tidak sedang berhasrat mengulasnya sok analitis. Saya hanya terkesima dengan temuan bersahaja dan usaha iseng tadi, bahwa saya dan banyak dari teman-teman saya di jejaring sosial sebenarnya tidak tahu mendalam tentang negeri ini. Ketika digali lebih jauh, persepsi kami memutar di situ-situ juga dan cenderung sepola – bila tidak mau gegabah disebut identik.

Kalau keisengan ini dilanjutkan dalam skala yang lebih luas, melihat persepsi umum orang Indonesia, misalnya, dugaan saya kok sepertinya pola jawabannya juga akan serupa. Dengan subjek yang berbeda, misalnya Denmark, barangkali persepsi kolektif orang Indonesia – setidaknya yang satu generasi atau di atas saya – akan cenderung lebih mudah terbentuk. Bagaimana pun paling tidak masih ada “hubungan” yang membantu persepsi orang Indonesia terhadap Denmark untuk lebih segera terbayangkan. Sebut saja beberapa hal seperti: badminton, HC Andersen (buku-buku dongeng anak), dan barangkali juga turnamen UEFA Euro 1992.

Banyak dari kita yang punya rekaman ingatan mengenai perseteruan pebulutangkis kita, Icuk Sugiarto, dengan andalan tunggal putra Denmark, Morten Frost Hansen, di era 1980-an. Atau, berlanjut ke era setelahnya bagaimana ketegangan selalu memuncak saat Taufik Hidayat beradu smash dengan Peter Gade Christensen (Peter Høeg Gade).

Di kancah sepakbola, Piala Eropa 1992 adalah salah satu memori kolektif global yang penting tatkala timnas Denmark menjadi kampiun setelah di final mengalahkan tim yang baru dua tahun merebut juara dunia, Jerman (ini pertama kalinya tim Jerman bersatu, Barat dan Timur, bertanding di ajang resmi). Catatan pentingnya, selain ini adalah kali pertama Denmark mengangkat trofi, tim ini semula tidak lolos ke putaran final alias sudah patah arang. Akan tetapi, karena Yugoslavia yang seharusnya lolos malah terkena sanksi FIFA akibat perang etnis yang tengah menderanya, jadilah Denmark yang berada di urutan di bawah Yugoslavia lolos dari babak kualifikasi. Di luar dugaan, seluruh fase dilalui Denmark dengan gemilang hingga tak dinyana justru membawa pulang gelar juara Eropa.

Bagi penonton di Indonesia – hingga sekarang sayangnya perannya masih sebagai penonton – momen itu amat penting karena segala hal yang underdog alias bukan unggulan ternyata bukan tidak mungkin jadi jawara. Momen ini sangat menginspirasi banyak pihak saat itu, di dunia olahraga maupun di kancah lainnya. Tidak heran pula bila sepekan setelah partai puncak di final Euro 1992 banyak anak-anak bermain di lapangan berdebu di Indonesia dan mengganti nama pemain favorit mereka dari Marco van Basten dan Ruud Gullit – punggawa timnas Belanda yang menjuarai Piala Eropa sebelumnya – menjadi penjaga gawang Peter Schmeichel dan penyerang Brian Laudrup dan Henrik Larsen yang menjadi pahlawan timnas mereka di Euro 1992. Uniknya, turnamen ini sebenarnya saat itu diadakan di Swedia, tapi kehebatan dan kejutan timnas Denmark lebih menjadi buah bibir daripada kisah penyelenggaraannya.

Bagi yang tidak punya ikatan atau kenangan apapun dengan dunia olahraga, buku-buku kisah dongeng anak karya HC Andersen, penulis kondang Denmark, adalah ingatan bersama yang sulit terlupakan. Kembali ke soal persepsi tentang Swedia, ternyata yang membuat jawaban atas persepsi terhadap Denmark lebih cepat dilontarkan dan lebih variatif, menurut saya, karena ada faktor “hubungan”. Hubungan ini sejatinya adalah hubungan yang terimajinasikan alias imagined relations. Namun, daya rekatnya amat kuat karena berupa ingatan bersama atau memori kolektif. Memori personal pun bahkan sebenarnya dipengaruhi memori kolektif dan pada saat yang bersamaan ingatan bersama itu menentukan memori personal mereka yang terlibat di dalam proses pengingatan ini (remembering).

Saya pun lebih mudah menjawab pertanyaan iseng di atas bila diganti menjadi begini: “Why Denmark? What do you know about Denmark?” Karena, selain berbagai ‘hubungan’ lewat rekaman ingatan kolektif di atas, kebetulan pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di sisi bumi Eropa dan saat itu juga kesempatan pertama kali saya keluar negeri adalah saat seminggu tinggal di Copenhagen, Denmark, pada penghujung akhir musim semi di bulan Mei 2008. Namun, apakah ini berarti persepsi saya tentang Denmark lebih baik daripada persepsi saya tentang Swedia karena ketiadaan ‘hubungan’ dan ‘ingatan’ sekuat dengan Denmark? Saya pikir, ini pertanyaan yang sudah lebih jauh. Baik atau tidak baik, kuat atau tidak kuat persepsi tersebut, sudah menjadi persoalan yang berbeda dan tidak cukup diulas di sini. Banyak faktor lain yang menentukannya (dan saya juga sedang tidak tergugah mengukur tingkat persepi atau membandingkannya).

Saya hendak menutup celoteh ini dengan satu jawaban rekan saya yang paling epic saat saya bikin kuis iseng tadi. Menurut rekan saya yang berasal dari Jogja, dengan gaya khas plesetan selo-nya, dia cuma tahu satu hal tentang negeri tempat saya tinggal sekarang: “Swedia payung sebelum hujan.”

Mekaten.

One thought on “”Why Sweden?” – Apa yang Kamu Ketahui tentang Swedia?

  1. Apa yg kamu ketahui tentang Swedia?
    Jawabku, ” Kak Kiki, Hayu dan Hayya”.
    Beneran ig..aq ga tahu apa2 ttg Swedia selain itu *parah

Leave a reply to lala Cancel reply